BOLEH KAH CURHAT ITU ???
Tanpa disadari sering sekarang kita dengar dengan
istilah Curhat (Curahan Hati) yang intinya mengemukakan masalah-masalah pribadi
kepada orang lain atau teman yang kita percayai. Masalah-masalah pribadi yang
tercurhat tidak lain membuka aib sendiri dan keluarga sehingga tidak
terlepas membicarakan orang pihak ketiga, baik teman, sahabat, suami, mertua,
keluarga, tetangga yang akhirnya buah curhat berakhir ghibah yaitu mengunjing,
membicarakan orang lain.
Mewaspadai Bahaya Ghibah
Ghibah atau membicarakan orang lain (bisa juga
diistilahkan dengan ngerumpi) adalah aktivitas yang ‘mengasyikkan’. Tak sedikit orang, yang secara
sadar atau tidak, terjatuh dalam perbuatan ini. Karena memang setan telah
menghiasi perbuatan ini sehingga nampak indah dan menyenangkan. Tahukah anda
bahwa Allah mengibaratkan ghibah dengan perbuatan memakan daging saudara kita
yang telah mati?
Bani Adam adalah makhluk yang lemah, serba
kekurangan, dan menjadi tempat kesalahan. Demikianlah fakta yang akan dijumpai
bila setiap orang jujur akan hakikat dirinya. Ia lemah dari semua sisi:
tubuhnya, semangatnya, keinginannya, imannya, dan lemah kesabarannya. Dengan
keadaan seperti ini, Allah dengan kemahabijaksanaan-Nya memberikan beban
syariat sesuai dengan kesanggupannya. Demikian yang dikatakan Asy-Syaikh Sa’di
dalam Tafsir-nya.
Terkadang kelemahan ini menyebabkan seseorang
terjatuh ke dalam perbuatan dosa dan maksiat. Mendzalimi diri sendiri, orang
lain, bahkan mendzalimi Allah. Keadaan demikian banyak terjadi pada manusia
khususnya yang tidak mendapat hidayah dan rahmat dari Allah. Allah Subhanahu wa
ta’ala berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah
mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung. Semuanya enggan
untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya. Dipikullah
amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat dzalim dan amat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)
Banyak sekali faktor yang mendorong manusia untuk
berbuat kesalahan atau kemaksiatan. Terkadang dorongan itu datang dari dalam
diri sendiri dan terkadang dari luar. Berbahagialah orang yang mengerti
kelemahan dirinya.
Abu Ad-Darda berkata: “Termasuk
wujud ilmunya seorang hamba adalah dia mengetahui imannya bertambah atau
berkurang. Dan termasuk dari barakah ilmunya seorang hamba adalah dia
mengetahui darimana setan akan menggelincirkannya.” (Asbab Ziyadatul Iman, hal.
10)
Salah satu bagian tubuh yang paling mudah
menjerumuskan manusia ke dalam kemaksiatan adalah lisan. Sungguh betapa ringan
lisan ini digerakkan untuk bermaksiat kepada Allah. Serta betapa berat untuk
diajak berdzikir kepada Allah. Demikan hakikat lisan sebagaimana ucapan Abu
Hatim: “Lisan memiliki peraba tersendiri yang tidak hanya
digunakan untuk mengetahui asin atau tidaknya makanan dan minuman, atau panas
dan dingin, atau manis dan pahit. Lisan sangat tanggap apabila telinga
mendengar sebuah berita, baik atau buruk dan benar atau salah. Dan sangat
tanggap pula bila mata melihat suatu kejadian, baik atau buruk. Lisan dengan
mudahnya bercerita dengan mengumbar apa saja yang menyentuhnya. Ingatlah, lidah
itu tak bertulang.”
bersabda: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam
“Barangsiapa yang beriman kepada
Allah dan hari akhir maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan
Muslim dari shahabat Abu Hurairah z)
Namun bukan berarti engkau diam dari suatu
kemungkaran dan diam untuk mengucapkan kebenaran. “Setan bisu” itulah gelar dan
panggilan seseorang yang diam dari kemungkaran dan tidak mau menyuarakan
kebenaran.
Makna Ghibah
Tidak ada penafsiran terbaik tentang makna ghibah
selain penafsiran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dalam hadits beliau.
Bila ada penafsiran para ulama tentang ghibah maka tidak akan terlepas dari
penafsiran beliau meski dengan ungkapan yang berbeda. Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wassalam bersabda: menjelaskan makna ghibah ini dalam sebuah hadits
dari Abu Hurairah zbahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam
“Tahukah kalian apa yang dimaksud
dengan ghibah?” Mereka berkata: “Allah dan Rasul-Nya yang lebih tahu.” Beliau
bersabda: “Kamu menceritakan tentang saudaramu apa yang dia tidak sukai.”
Dikatakan kepada beliau: “Bagaimana pendapat engkau bila apa yang aku katakan
ada pada saudaraku itu?” Beliau menjawab: “Jika apa yang kamu katakan ada pada
saudaramu maka kamu telah mengghibahinya, dan jika apa yang kamu katakan tidak
ada pada dirinya, maka kamu telah berdusta.”(Shahih, HR. Muslim no. 2589, Abu Dawud no. 4874,
dan At-Tirmidzi no. 1435)
Ghibah adalah Dosa Besar
Dari keterangan di atas, diambil kesimpulan bahwa
makna ghibah adalah menceritakan seseorang kepada orang lain dan orang yang
dijadikan objek pembicaraan tidak menyukai apa yang dibicarakan. Bila apa yang
diceritakan tidak ada pada orang tersebut, ini merupakan dusta atas namanya dan
tentu saja dosanya lebih besar dari yang pertama.
Ibnu Katsir mengatakan: “Ghibah
adalah haram secara ijma’ dan tidak dikecualikan (boleh dilakukan) melainkan
(dalam hal yang) maslahatnya lebih kuat, seperti dalam jarh dan ta’dil
(menerangkan perawi hadits) dan nasehat, sebagaimana sabda ketika seseorang
yang jahat Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wassalam meminta
izin kepada beliau untuk bertemu beliau, maka beliau berkata: ‘Izinkan dia,
sesungguhnya dia adalah orang yang paling jelek di kaumnya.’ Juga seperti sabda
beliau kepada Fathimah binti Qais saat dipinang oleh Mu’awiyah dan Abu Jahm.
(Rasulullah Shallallahu ‘alaihi mengabarkan) bahwa Mu’awiyah adalah orang yang
sangat miskin wassalam dan Abu Jahm adalah orang yang tidak pernah
meletakkan tongkat dari pundaknya.” (Tafsir Ibnu Katsir, 4/215)
berfirman: Ghibah jelas perbuatan terlarang.
Bahkan ia termasuk perbuatan dosa besar. Allah Subhanahu wa ta’ala
“Janganlah sebagian kalian
menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang di antara kalian memakan
daging saudaranya yang telah mati? Tentulah kalian merasa jijik kepadanya.
Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha
Penyayang.”
(Al-Hujurat: 12)
bersabda: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam
“Sesungguhnya darah, harta, dan
kehormatan kalian adalah haram seperti haramnya hari kalian ini, bulan kalian
ini, dan negeri kalian ini.” (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abu Bakrah)
bersabda: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wassalam
“Ketika saya dibawa naik, saya
melewati suatu kaum yang memiliki kuku dari tembaga yang dengannya mereka
mencakar-cakar wajah dan dada mereka. Aku bertanya:’Hai Jibril, siapakah
mereka?’ Jibril menjawab: ‘Mereka adalah kaum yang telah memakan daging orang
lain dan menginjak-injak kehormatan mereka’.” (HR. Abu Dawud no. 4878 dari shahabat Anas bin
Malik dan dishahihkan oleh Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Sunan Abi Dawud
no. 4082 dan dalam Ash-Shahihah no. 533)
Masih banyak dalil-dalil yang menjelaskan tentang
keharaman ghibah dan bahwa ghibah termasuk dosa besar.
Kapan Boleh Mengghibah
Al-Imam An-Nawawi berkata: “Ghibah
dibolehkan dengan tujuan syariat yang tidak mungkin mencapai tujuan tersebut
melainkan dengannya.”
Dibolehkah ghibah pada enam perkara:
1. Ketika terdzalimi (dianiaya).
2. Meminta bantuan untuk menghilangkan kemungkaran.
3. Meminta fatwa.
4. Memperingatkan kaum muslimin dari sebuah
kejahatan atau untuk menasihati mereka.
5. Ketika seseorang menampakkan kefasikannya.
6. Memanggil seseorang yang dia terkenal dengan
nama itu.
(Riyadhus Shalihin, bab “Apa-apa
yang diperbolehkan untuk Ghibah”)
Cara Bertaubat dari Ghibah
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah orang yang
telah berbuat ghibah tidak harus mengumumkan taubatnya. Cukup baginya
memintakan ampun bagi orang yang dighibahi dan menyebutkan segala kebaikannya
di tempat-tempat mana dia mengghibahinya. Pendapat ini yang dikuatkan oleh Ummu
Abdillah Al-Wadi’iyyah dalam kitabnya Nashihati lin Nisa’ (hal. 31).
Dalam permasalahan ini, perlu dirinci:
Pertama, bila orang tersebut mendengar ghibahnya, maka dia
harus datang kepada orang tersebut meminta kehalalannya (minta maaf).
Kedua, jika orang tersebut tidak mendengar ghibahnya maka
cukup baginya menyebutkan kebaikan-kebaikannya dan mencabut diri darinya di
tempat ia berbuat ghibah.
Al-Qahthani dalam kitab Nuniyyah beliau (hal. 39)
menasihati kita:
“Janganlah kamu sibuk dengan aib
saudaramu dan lalai dari aib dirimu, sesungguhnya yang demikian itu adalah dua
keaiban.”
Wallahu a’lam.
Dikutip dari http://asysyriah.com,
Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah bin Rawiyah An-Nawawi, Judul: Kekejian Berupa
Memakan Bangkai Daging Sendiri
0 komentar:
Posting Komentar